CNN Indonesia.id
Oleh Prof. Dr. Apridar S.E, M.Si
Dosen Fakultas ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK) dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
Pulau Panjang, Lipan, Mangkir gadang , Mangkir ketek. Empat nama yang terdengar seperti kuliner khas Aceh Singkil, kini menjadi menu utama konflik teritorial yang memalukan. Perpindahan empat pulau ini dari Aceh ke Sumatera Utara (SUMUT) berdasarkan Surat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) No. 100/2518/ Sj tanggal 29 Mei 2025 bukanlah kesalahan administrasi biasa.
Ia adalah episode terbaru dalam drama panjang “pemerkosaan” sistematis terhadap potensi dan kedaulatan Aceh
sebuah libido kekuasaan yang menghalalkan segala cara, dari manipulasi sejarah hingga pemaksaan birokrasi, yang berujung pada perlawanan masyarakat.
Drama Pulau Singkil : Sateri Kekuasaan yang telanjang.
Kunjungan Gubernur Sumut,Bobby Nasution, ke Banda Aceh pada 4 Juni 2025 yang dikemas sebagai ” Silaturahmi” , adalah lakon satire yang pahit .Suasana bukan lah reuni hangat, melainkan pertemuan dingin penuh ketegangan . Gubernur Aceh Muzakir Manaf ( Mualem), menyambut sejenak di pendopo kemudian pamit dengan alasan ke Aceh Barat Daya. Sikap ini bukan sekedar ketidak sopanan ,ia adalah protes diam diam yang lantang. Sikap Mualem mencerminkan kejenuhan mendalam rakyat Aceh terhadap pola Jakarta dan Medan yang seenak nya” mencopot – copot” wilayah Aceh.Seolah – olah wilayah republik ini warisan keluarga yang di bagi – bagi berdasarkan “siapa cepat dia dapat,siapa dekat dia disepakat”.
Tawaran Bobby. tentang pengolahan. “Kolabratif” ke empat pulau pulau oleh Sumut terdengar hampa. Bagai mana mungkin berkolaborasi yang telah dirampas secara sepihak ? Ini bagaikan minta maaf setelah menampar, lalu mengajak berfhoto bersama tawaran itu mengabaikan fakta sejarah dan administrasi yang kokoh : keempat pulau tersebut secata konsisten tercatat dalam dokumen resmi Aceh. Peta kesepahaman antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut yang disahkan Kemendagri pada tahun 1992 (No. 146.12/ 1087/Sj) secara eksplisit menetapkan pulau – pulau tersebut masuk dalam wilayah kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Surat Kemendagri 2025 dengan mudah nya menginjak – injak kesepakatan bersejarah ini, seolah dokumen hukum hanya berlaku ketika menguntungkan pusat atau pihak tertentu. Masyarakat Aceh Singkil yang hidup dan bernapas dari pulau – pulau itu, yang menjadikan nya bagaikan integral,dari identitas dan penghidupan mereka, hanya bisa menyaksikan peta batin mereka dikalah kan oleh koordinat digital yang dimanipulasi .
Kejayaan yang terkubur : Potensi Aceh yang “DiPerkosa” sejak Zaman kolonial agar paham mengapa perampasan kecil sekalipun terasa seperti luka yang dalam, kira harus menengok kebelakang, kemasa ketika Aceh adalah raksasa yang disegani :
Samudera Pasai (abad 13 -16) : Kerajaan Islam pertama di Nusantara sekaligus pusat perdagangan Internasional yang maju. Pasai mencetak uang emas sendiri ( Dirham) dan menjadi simpul penting jalur rempah dunia, menarik perdagangan dari Arab, India hingga Cina Kekayaan intelektual nya juga luar bisa, menjadi pusat penyebaran Islam dan ilmu pengetahuan.
Kesultanan Aceh Darussalam (Abad 16 -17): dibawah pimpinan Sutan Iskandar muda (1607 – 1636). Aceh mencapai puncak kejayaannya. Wilayah membentang dari pesisir timur Sumatera hingga semenanjung Malaya. Aceh memiliki angkatan Laut yang tangguh , menguasai selat Malaka, dan menjadi pemasok utama lada dunia. Banda Aceh (Kotaraja) menjadi kota metropolitan kosmopolitan dengan populasi diperkirakan 100.000 jiwa setara kota besar Eropa saat itu . Sistem pemerintahan yang teratur, hukum Islam yang dijalankan, dan pusat pendidikan yang maju ( Baiturrahman sebagai pusat ilmu ) menjadi fondasi kemakmuran.
Pertahanan gagah berani : Kejaan Aceh tidak terlepas dari kemampuan nya mempertahankan kedaulatan. Aceh merupakan wilayah terakhir di sumatera yang di taklukkan Belanda setelah perang Aceh yang panjang dan berdarah (1873 – 1903/1914), menewaskan puluhan ribu pejuang Aceh dan menghabiskan dana kolonial yang sangat besar. Perlawanan sengit ini menunjukkan karakter bangsa yang tak mudah menyerah pada upaya pemerkosaan kedaulatan.
Pola sistematis: Merampas potensi, meminggirkan jejayaan. Namun, inilah yang justru membuat Aceh menjadi sasaran “pemerkosaan”potensi secara sistematis.
Eksploitasi Sumber Daya Tanpa Keadilan : Aceh kaya Mintak, Gas Alam, emas, hasil hutan dan perikanan.Namun, kekayaan ini jarang dinikmati secara adil oleh rakyat Aceh. Selama Orde Baru,kontrak karya Freeport (emas di Papua) sering di jadikan contoh, tetapi eksploitasi migas Blok Arun di Aceh oleh Mobil Oil ( sekarang Exxonmobil) sejak 1970-an juga merupakan cerita klasik :
Keuntungan besar mengalir ke pusat dan korporasi asing sementara dampak sosial dan lingkungan ditanggung lokal.
Paska MoU Helsinki 2005 yang memberikan Aceh hak pengelolaan 70% migas, implementasi nya penuh tarik ulur dan belum sepenuhnya memulihkan keadilan ekonomi. UU minerba yang baru kembali mengancam otonomi pengelolaan sumberdaya ini .
Pemotongan wilayah secara Administratif : Upaya memecah belah dan mengurangi wilayah Aceh bukanlah hal baru. Pemotongan signifikan di mulai sejak masa kolonial Belanda.Pada tahun 1934, melalui ” Resolutie Gouverneur General”, Belanda memisahkan wilayah Tapanuli ( termasuk Sibolga dan Padangsidempuan ) dari Government Atjeh en Onderhoorighiden ( Aceh dan daerah Taklukan nya). Pasca Kemerdekaan, pemekaran Sumatera Utara pada tahun 1956 secara otomatis memisahkan wilayah – wilayah yang sebelumnya memiliki keterkaitan sejarah dan budaya dengan wilayah Aceh , seperti Labuhan Batu dan sebagian Tapanuli. Kasus Pulau Singkil hanyalah kelanjutan dari pola ini di era modren, dimana garis batas di ubah berdasarkan kepentingan politik dan ekonomi sesaat, mengabaikan sejarah dan Ikatan kultural masyarakat setempat.
Peminggiran Sejarah dan Identitas:
Narasi sejarah nasional seringkali meminggirkan peran sentral Aceh.
Perjuangan Heroik melawan kolonial Belanda kerap di kerdilkan. Kejayaan Samudera Pasai dan Aceh Darussalam tidak mendapat posisi yang sepadan dengan kontribusi nya dalam membentuk peradaban Islam dan ekonomi Nusantara. Upaya ini menciptakan persepsi bahwa Aceh hanyalah” daerah konflik” dipinggiran, bukan bekas kekuatan adidaya regional yang memiliki hak atas martabat dan kedaulatan nya . Kebijakan asimilasi paksa di masa lalu juga merupakan bentuk ” Pemerkosaan” terhadap identitas kultural yang kuat.
Sentralisasi Kekuasaan dan Politik Transaksional : Kebijakan dari Jakarta sering kali mengabaikan suara Aceh .
Keputusan penting menyangkut Aceh, seperti penetapan batas wilayah atau ekploitasi Sumber Daya, kerap diambil melalui lobi – lobi politik transaksional di pusat, bukan berdasarkan pengkajian obyektif sejarah, hukum, dan aspirasi masyarakat Aceh. Kekuatan politik lokal di sumut yang memiliki akses kuat ke Pusat bisa menjadi faktor kasus Pulau Singkil, mengalahkan kesepakatan hukum yang sudah ada (Peta 1992). Ini membuktikan bahwa hukum tidak selalu menjadi panglima; yang lebih berkuasa adalah “disposisi, lobi, dan relasi”, instrumen utama dalam libido kekuasaan yang rakus.
Perlawanan : membongkar skenario kekuasaan Masyarakat Aceh bukanlah korban yang pasif. Perlawanan terhadap “pemerkosaan” potensi dan kedaulatan ini telah berlangsung berabad – abad, dengan berbagai bentuk :
Perang Fisik : Perang Aceh melawan Belanda adalah contoh paling heroik.
Perlawanan bersenjata juga terjadi melawan Jepang dan bahkan pada masa pemberontakan DI/TII serta konflik GAM melawan RI , yang akarnya sangat kompleks namaun tak lepas dari persoalan ketidak adilan, sentralisasi ,dan ekploitasi sumber daya.
Perlawanan hukum dan politik : Aceh aktif memperjuangkan hak – gak nyal melalui jalur hukum dan politik. Perjuangan panjang yang berujung pada pemberian status Daerah Istimewa pada tahun (1959) dan kemudian otonomi khusus (UU no 11/2006 paska MoU Helsinki) adalah buktinya.Kasus pulau Singkil kembali di usung ke jalur hukum.
Pemerintahan Aceh dan masyarakat bersiap menggugat keputusan Kemendagri tersebut. Sikap tegas Gubernur Mualem yang meninggalkan pertemuan dengan Bobby Nasution adalah bentuk perlawanan politik simbolis yang kuat, menolak legitimasi terhadap perampasan yang terjadi.
Perlawanan kultural : Masyarakat Aceh menjaga ketat identitas, adat istiadat , dan nilai – nilai Islam. Dayah (pesantren) tetap menjadi benteng dan katakter. Keteguhan dan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, meskipun menjadi perdebatan, juga merupakan penegasan identitas yang berbeda. Keterikatan masyarakat Singkil dengan pulau – pulau mereka adalah bentuk perlawanan kultural terhadap upaya pemutusan sejarah oleh peta digital.
Perlawanan sosial ekonomi : Meski dihimpit ketidakadilan, masyarakat Aceh tetap berusaha membangun ekonomi lokal. Gerakan koperasi,usaha kecil menengah berbasis potensi lokal (kopi,pala, perikanan dan kerajinan), serta pemanfaatan otsus.
Penutup : Akankah hukum menjadi panglima ?
Kasus empat pulau di Singkil adalah microcoms dari penyakit kronis dalam tubuh republik : libido Kekuasaan yang menghalalkan segala cara untuk menguasai potensi daerah, khusus nya Aceh yang kaya raya namun kerap dianggap “susah diatur”. Polanya selalu sama : mengabaikan sejarah, manipulasi hukum dan administrasi, memampaatkan ketimpangan relasi kuasa, dan mengorbankan masyarakat lokal.
Kejayaan Aceh tempo dulu bukan sekedar kenangan.Ia adalah bukti nya potensi besar yang dimiliki.Namun potensi itu terus “diperkosa” di ekploitasi tanpa imbalan yang adil, wilayah nya dipreteli, sejarah nya dipinggir kan , suaranya di redam.
Perlawanan masyarakat Aceh, dari perang kolosal hingga gugatan hukum atas pulau – pulau kecil,adalah upaya membongkar sekenaro pemerkosaan ini,sikap Mualem yang memilih “berjalanan ke Aceh Barat Daya” ketimbang mendengarkan tawaran” Kolaborasi ” atas wilayah yang di rampas, adalah perlawanan simbolis yang penting ia menolak memberi legitimasi kepada ketidak adilan.
Di ujung penantian ini , pertanyaan besarnya adalah : akankah hukum akhirnya menjadi Panglima ? atau kah libido kekuasaan dan politik transaksional sekali lagi akan mengalahkan kebenaran sejarah , keadilan administratif , dan teriakan masyarakat Aceh yang merasa terusir dari tanah nya sendiri ? Gugatan hukum atas kasus pulau Singkil bukan hanya perjuangan untuk empat pulau ; ia adalah ujian nyata bagi komitmen negara terhadap keadilan, otonomi , dan penghormatan pada sejarah. Jika ujian ini gagal, maka luka lama Aceh akan semakin menganga, dan pesan yang terdengar adalah : ” Siapa cepat dan dekat dengan kekuasaan, dia berhak memperkosa siapa pun.” Dan itu adalah Presiden berbahaya bagi kebutuhan Republik.
(M.SN)
















